Data Ekonomi AS yang Menguat
Penguatan dolar AS dipicu oleh data ekonomi AS yang menunjukkan ketahanan yang luar biasa, terutama dalam hal penjualan ritel dan klaim pengangguran. Penjualan ritel AS pada Juli 2024 tercatat naik sebesar 1% secara bulanan (month-on-month), setelah mengalami penurunan 0,2% pada Juni 2024. Kenaikan ini jauh melampaui ekspektasi pasar yang memperkirakan hanya akan naik 0,3%. Kenaikan penjualan ritel yang signifikan ini merupakan yang terbesar sejak Januari 2023, didorong terutama oleh lonjakan penjualan di sektor kendaraan bermotor dan suku cadang.
Selain itu, laporan Initial Jobless Claims atau klaim pengangguran awal di AS juga menunjukkan hasil yang positif. Klaim pengangguran secara tak terduga menurun untuk minggu kedua berturut-turut pada pertengahan Agustus 2024, turun sebesar 7.000 menjadi 227.000.
Angka ini menentang prediksi pasar yang memperkirakan klaim akan meningkat menjadi 235.000. Penurunan ini merupakan yang terbesar dalam lima minggu terakhir dan menunjukkan bahwa pasar tenaga kerja AS tetap kuat, meskipun ada kekhawatiran sebelumnya terkait laporan pekerjaan yang lebih lemah.
Dampak Terhadap Kebijakan The Federal Reserve
Kombinasi dari data ekonomi yang kuat ini telah mengubah ekspektasi pasar terkait kebijakan suku bunga yang akan diambil oleh The Federal Reserve (Fed). Sebelumnya, pasar memperkirakan bahwa Fed akan menurunkan suku bunga sebesar 50 basis poin pada pertemuan mereka di September 2024. Namun, dengan data terbaru ini, banyak analis yang memperkirakan Fed hanya akan melakukan penurunan sebesar 25 basis poin. Langkah ini dianggap lebih konservatif mengingat kekuatan ekonomi AS yang masih solid, yang mungkin tidak memerlukan stimulus moneter yang lebih agresif.
Pengaruh Global dan Sentimen dari China
Namun, penguatan dolar AS tidak terjadi tanpa hambatan. Sentimen global juga dipengaruhi oleh data ekonomi dari negara-negara besar lainnya, seperti Jepang dan Inggris, yang juga menunjukkan performa yang kuat. Produk domestik bruto (PDB) dari Jepang dan Inggris mencatat pertumbuhan yang lebih baik dari ekspektasi, yang sedikit menahan laju penguatan dolar AS secara keseluruhan.
Di sisi lain, sentimen dari China memberikan tekanan tambahan pada mata uang di kawasan Asia, termasuk rupiah. Data ekonomi dari China menunjukkan adanya perlambatan yang terus berlanjut, dengan meningkatnya angka pengangguran, kontraksi investasi yang lebih dalam, dan penurunan harga perumahan. Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran tentang prospek pemulihan ekonomi China ke depannya. Sentimen negatif dari China ini membuat mata uang Asia melemah terhadap dolar AS, karena investor cenderung menghindari risiko dan mencari aset yang lebih aman.
Surplus Perdagangan Indonesia Menurun
Di dalam negeri, tekanan terhadap rupiah juga dipengaruhi oleh penurunan surplus perdagangan Indonesia pada Juli 2024. Surplus perdagangan Indonesia tercatat hanya sebesar US$0,47 miliar, turun tajam dari US$2,39 miliar pada Juni 2024. Ini merupakan surplus terendah sejak Mei 2023. Penurunan surplus ini terutama disebabkan oleh lonjakan kinerja impor di berbagai kategori, yang menekan neraca perdagangan Indonesia. Penurunan surplus perdagangan ini menambah tekanan pada nilai tukar rupiah, di tengah kondisi pasar yang sudah penuh dengan tantangan.
Nilai tukar rupiah mencatat pelemahan signifikan terhadap dolar Amerika Serikat (AS), menempatkannya sebagai mata uang Asia dengan penurunan terdalam kedua setelah peso Filipina. Pada saat Presiden Joko Widodo menyampaikan Pidato Kenegaraan terakhirnya di Sidang Tahunan MPR/DPR-RI, rupiah spot terpantau melemah sebesar 0,19% dan berada di level Rp15.730 per dolar AS.
Posisi rupiah yang melemah ini membuatnya hanya berada sedikit di atas peso Filipina, yang mengalami penurunan lebih tajam sebesar 0,48%. Selain rupiah, mata uang Asia lainnya yang juga tertekan di antaranya dong Vietnam, yang turun 0,10%, dan dolar Taiwan yang melemah 0,09%.
Pelemahan rupiah ini terjadi di tengah tekanan yang melanda pasar surat utang negara (SBN). Beberapa tenor SBN mengalami kenaikan imbal hasil yang menunjukkan adanya penurunan harga. Namun, menjelang akhir sesi pertama perdagangan, pasar menunjukkan tanda-tanda pembalikan arah.
Berdasarkan data real-time dari Bloomberg, imbal hasil SBN dengan tenor 2 tahun (2Y) yang sempat naik di pagi hari, mulai mengalami penurunan imbal hasil sebesar 2 basis poin (bps) ke level 6,429% pada akhir sesi pertama. Sementara itu, imbal hasil SBN tenor 10 tahun (10Y) juga mengalami penurunan sebesar 0,4 bps menjadi 6,713%.
Meski demikian, tidak semua tenor SBN menunjukkan perbaikan. Imbal hasil SBN tenor 5 tahun (5Y) masih melanjutkan kenaikannya, bertambah 1,5 bps ke level 6,566%. Sementara itu, imbal hasil untuk tenor yang lebih panjang, yaitu 15 tahun (15Y), juga mengalami kenaikan sebesar 1 bps ke 6,768%.