“Dugaan tindakan kekerasan seksual yang dilakukan oleh Guru di SLB tersebut menambah catatan buruk tindakan kekerasan seksual yang terjadi di institusi pendidikan. Hal ini juga memperlihatkan bahwa bahkan di institusi pendidikan tidak ada jaminan ruang aman dari tindakan kekerasan seksual,” ujar Ambara Dewita Purnama dalam keterangan tertulisnya, Senin (18/11).
Ambara menerangkan kasus ini, berawal ketika, tante korban HN (27) mendapati korban sedang menangis histeris di depan kamar dan setelah dikonfirmasi ternyata korban telah mengalami kekerasan seksual di sekolahnya yang dilakukan oleh seorang laki-laki dengan ciri-ciri berkulit hitam.
Korban mengaku sempat berusaha lari namun ditarik oleh pelaku, sehingga terdapat bekas cakaran di lengan kiri korban. Sebelumnya, korban juga telah beberapa kali mengalami kekerasan seksual dengan pelaku yang sama. Saat dikonfirmasi mengenai hari kejadian, korban hanya menyebut hari senin dan selasa.
Mengetahui kejadian tersebut, pada 12 November 2024, korban beserta keluarganya telah berupaya menemui pihak sekolah dan berhasil bertemu dengan terduga pelaku setelah dihubungi oleh kepala sekolah, karena korban menunjuk tasnya yang berada di dalam ruangan tersebut.
Ironisnya, pihak sekolah seolah memberikan perlindungan kepada terduga pelaku tersebut. Sehingga keluarga korban memutuskan untuk melaporkan tindak pidana kekerasan seksual tersebut ke Polrestabes Makassar.
“Sampai pada hari ini perkembangan status laporan polisi korban masih pada tahap penyelidikan. Jika merujuk pada kronologi yang disampaikan oleh HN, maka perbuatan pelaku telah memenuhi unsur tindak pidana kekerasan seksual yang dilakukan oleh anak perempuan penyandang disabilitas dan diduga telah dilakukan lebih dari 1 kali,” terangnya.
Terduga pelaku telah dilaporkan ke pihak kepolisian menggunakan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
“Kita harus bersikap serius terhadap pengawalan kasus, dengan melibatkan seluruh jaringan pendukung. Hal penting juga, memastikan keadilan dan pemulihan bagi anak perempuan disabilitas sebagai korban,” tuturnya.
Undang-undang TPKS mengatur hukuman tambahan jika pelaku merupakan tenaga pendidik dan korban merupakan anak sekaligus merupakan seorang disabilitas.
Hingga kini, terduga pelaku masih ditahan di Polrestabes Kota Makassar. Pihak kepolisian akan melanjutkan proses penyidikan dengan melakukan olah Tempat Kejadian Perkara (TKP).
“Pemerintah harus memberikan atensi terhadap kasus ini dan menjadikan sekolah menjadi tempat yang aman bagi anak-anak kita untuk menempuh pendidikan, termasuk meningkatkan perspektif tenaga pendidik sebagai upaya preventif dalam pencegahan terjadinya kasus serupa,” pungkasnya.